PAYUNG DAN KEBEBASAN (FILOSOFI PAYUNG)
Tentang hujan, kalian
semua pasti sepakat ketika ia turun, serentak bersama-sama meneduh di bawah
naungan yang sekiranya tak kecipratan air hujan sama sekali. Ketika hujan turut
tatkala pulang dari kampus, kita berhenti sejenak di lobi gedung sembari
menunggu hujan reda. Khusunya bagi mereka yang tidak memakai kendaraan tertutup
seperti mobil dan alat bantu seperti jas hujan. Upaya itu di lakukan supaya
terhindar dari percikan air hujan.
Tentang hujan, di katakan
bahwa ia turun sebab rahmat Tuhan, sebab anugarah Tuhan. Hal ini kiranya sudah
di ketahui oleh banyak orang dan tak terkecuali. Bahkan sepengetahuan saya, tak
ada yang menapik hal tersebut. Tapi kenapa, kebanyakan orang menjauhi hal
tersebut? Sepintas, bukankah terkesan banyak orang berbondong-bondong menjauhi
rahmat yang turun langsung dari surga?
Tentang hujan, benar
bahwa ia adalah anugerah dan orang banyak yang menjauhinya. Mereka tertindas
atas anugerah itu sendiri. Maka muncul sebuah sintesis, hujan juga bisa
berartikan musibah! Karenanya, kita terhambat, karenya kita terhenti, karenya
kita tak bebas! Apakah saya salah?
Tentang hujan, menurut
perspektif kaum stoa, apapun yang terlintas di alam kita ini adalah netral, tak
memiliki nilai sama sekali. Kembali bergantung pada perspektif setiap individu.
Dari pada terbelenggu dengan narasi hujan, bukankah seyogyanya kita melewatinya
tanpa pikir pusing kenapa hujan ini harus turun.
Bukan tentang hujan, tapi
tertindasnya kita akan argumen diri yang seakan hujan adalah penghalang. Konsekuensi
logisnya, jika hujan benar-benar menghalangi, maka manusia telah direnggut
kebebasannya oleh hal yang kita anggap sebagai anugerah. Pertanyaannya? Lalu bagaimana
dengan seluruh hal yang ada di alam semesta ini, yang mana kesemuanya adalah
rahmat, kemudian kita menganggap itu semua sebagai penghalang? Betapa nistanya
manusia sebagai makhluk yang tidak bebas.
Bukan tetang hujan, melainkan
diri kita sendiri. Kita tak mampu berdiri. Manusia yang terbelenggu.
Belajarlah dari hujan,
bahwa saat ia turun, maka payungilah dirimu. Engkau benar-benar menjadi makhluk
yang bebas. Tak terbelenggu oleh wacana tentang hujan, tak terhenti oleh turunya
hujan. Engkau benar-benar makhluk yang bebas. Seperti yang di katakan Thomas Hobbes (1588-1679), “Orang yang bebas adalah seseorang yang dalam berbagai hal
menggunakan kekuatan dan kecerdasan yang dimiliki, mampu melakukan apa yang dia
ingin lakukan tanpa terhalang apapun”. Itulah gambaran ketika dirimu
menggunakan payung di saat hujan. Sedekat apapung dirimu tinggal, bukankah ketika
pulang dari kampus, kau pasti akan berterduh menunggu reda. Kalau memang benar
seperti itu, betapa tidak bebasnya dirimu.
Belajarlah dari hujan, gambaran
konkret menghadapi suatu fenomena. Lalu engkau memayungi dirimu bukan dengan dasar
terhindar dari air hujan, melainkan semata-mata menjadi manusia yang bebas.
0 Response to "PAYUNG DAN KEBEBASAN (FILOSOFI PAYUNG)"
Post a Comment