PAYUNG MERAH MILIK SARAH

Satu banding sekian, mahasiswa mudah jenuh ketika mengikuti kegiatan belajar dalam. Aku salah satunya. Akan tetapi, dalam keyainanku, nominal ‘mahasiswa bosan’ tadi masih mempunyai alasan rasional ataupun emosianal kenapa ia masih mau mengikuti kegiatan belajar. Banyak sekali. Kalau aku, selayaknya perjaka naas pada umumnya, terpana pada salah seorang mahasiswi. Dia bernama Sarah. Sarah sangat berbeda dengan lainnya. Entah mengapa aku sangat tertarik padanya. Padahal sudah beberapa bulan satu kelas dengannya, tapi akhir-akhir ini aku mulai ada perasaan lebih padanya. Saat pengenalan hari pertama masuk, aku belum begitu tertarik padanya, bahkan aku jarang melihatnya didalam kelas. Hari pertama dia tak ada bedanya dengan mahasiswa lainnya, tapi hari demi hari semua akan tahu bahwa seorang Sarah adalah mahasiswi yang sangat lihai dalam semua mata kuliah. Aneh jika tak ada orang yang tertarik padanya.

Setiap dia presentasi, satu kelas terpaku dan terpukau pada semua penjelasan yang mudah nan berbobot dari Sarah. Semua akang mengakui, kalau Sarah tak hanya pintar dalam hal apapun, tapi dia... sangat cantik dan menawan. Dia sangat anggun. Jujur,  ironis jika Sarah tidak mengenyam pendidikan dikuliah yang berbasis negeri.

Aku sudah mengenal Sarah, hanya dari perkenalan hari pertama. Tidak lebih dari itu. Dia seperti menjauh dari teman-teman kelas. Walaupun, Sebenarnya dia sangat adaptif dengan teman lainnya. Aku hanya tahu Sarah aktif berbicara didalam ruang kelas saat pelajaran berlangsung, selain itu aku belum pernah menemui nya seperti didalam kelas.

Tiap-tiap giliranku presentasi, Sarah sangat antusias dalam menanggapi materi yang aku sampaikan. Awalnya, aku tak menghiraukan akan hal itu. Aku mengira seorang Sarah yang cerdas sedang mengoreksi materi presentasiku dengan seksama. Ku kira seperti itu. Tapi setelah beberapa kali aku presentasi, dia seorang yang terus menggapi presentasiku, baik itu membantah maupun bertanya. Berbeda dengan presntasi anak-anak lainnya. Setiap kali dia menggapi presentasiku, dia selalu tersenyum padaku. Spontan salah tingkah.

Aku paham, bukan hanya diriku saja yang tertarik pada pribadi seorang Sarah, bahkan teman-teman tongkronganku sendiri sering membicarakannya. Memang Sarah memiliki kharisma tersendiri yang membuat dirinya sangat dikagumi. Aku tak pernah menyampaikan pada siapapun, kalau sebenarnya aku sangat tertarik padanya.

Terbesit rasa gengsi pada teman-temanku. Walaupun memang aku sudah lumayan lebih tua dari Sarah dan teman-teman seangkatanku, namanya juga rasa, kalau suka ya suka.

Sebelum masuk kuliah, aku sempat menganggur empat tahun. Aku bekerja di perusahaan pamanku, perusahaan bahan pokok pangan. Disana aku masih menjadi seorang buruh. Karena pemilik perusahaan adalah pamanku sendiri, dia memberitahuku hal-hal penting dalam membina sebuah perusahaan. Salah satu alasan, aku cukup lihai dan paham didalam ruang kelas, karena aku sudah pernah terjun langsung dalam suatu perusahaan. Meskipun tak selihai penjelasan Sarah!

Barusan, seorang dosen memberitahukan kalau Sarah akan melanjutkan pendidikannya diluar negeri. Satu kelas bersamaan dengan dosen memberi aplos pada Sarah, mengucapkan selamat padanya. Kelas ramai dengan tepuk tangan. Itu tandanya, tepat hari ini adalah hari terakhir Sarah berada dikampus ini.

Aku? Yang jelas ikutan aplos. Belum genap satu semester padahal. Sebenarnya aku ingin mendapatkan pertanggungjawaban dari senyumnya itu.

Setelah ucapan selamat yang cukup meriah di dalam kelas (kecuali aku?), aku bersegara menemui Bu dosen wali di perpustakaan. Didepan perpustakaan, aku menunggu Bu dosen wali memberikan materi untuk pertemuan mendatang. Para mahasiswa berlalu lalang di depanku sambil berpasang-pasangan.

Sial, hanya karena hal tadi aku kepikiran sampai sekarang. Rasanya didalam diriku terdapat dua kubu, pertama kubu yang menggalaukan diriku, kedua kubu yang memberi tahu untuk sadar diri, untuk apa memikirkan yang tak pasti. Rasanya didalam sangat bergejolak. Aku mencoba menenangkan diri dengan menyandar tembok sambil memejamkan mata. Menyelami suara rintikan hujan di luar.

“Adam... Adam...,” ya ampun, aku baru sadar kalau Bu dosen wali memanggilku beberapa kali.

“Iya Bu....,” aku agak terkejut menjawabnya.

“Kamu kenapa Adam? Kamu sakit?,” dosen wali memegang kepalaku. “Enggak apa-apa kok Bu, mungkin kelelahan saja,” beliau melihat wajahku lebih dekat.

“Pasti ada yang kamu pikirkan sekarang,” dosen wali mengajakku untuk duduk didepan perpustakaan, sepertinya dia merasakan ada yang janggal pada diriku

“Enggak kok Bu”

Dia menarik ku untuk duduk disampingnya. “Wajah kamu gak bisa bohong, udahlah cerita aja. Dikampus aku adalah ibumu” iya juga ya, siapa lagi kalau bukan dia.

“Sarah Bu....,” Aku menundukkan kepala, sangat malu untuk menceritakannya.

“Ya ampun Adam....,” Bu dosen wali mengusap wajahnya, menghadap langit-langit lalu tersenyum. “Kenapa Saarah, ada apa dengan Sarah?,” Bu dosen wali bertanya dalam keadaan tersenyum lebar. Belum sempat menjawab Bu dosen wali menyela, “Kamu suka sama Sarah?,” aku mengangguk malu-malu. “Memang kalian sudah pacaran?,” beliau menutup senyumnya yang tadinya terlihat giginya, namun sedikit memecingkan matanya.

“Belum Bu, cuma ada rasa,”

“Terus kenapa kamu seperti kehilanganan banget?, Wajah mu kelihatan loo?,”

Aku menghembuskan nafas dan agak membungkuk, “Namanya juga suka Bu...,” Aku sedikit lega bisa menceritakan keresahanku.

“Sepertinya gak mungkin kalau kamu cuma suka dengan Sarah?,” kali ini ekspresi dari Bu dosen wali lebih terlibat iba.

“Iya Bu, saya juga kagum dengan diri Sarah. Nggak cuma cerdas, dia peduli terhadap sesama, kelihatan sekali dari tingkah lakunya,” Aku benar-benar lega, hatiku lebih ringan sekarang. Aku menceritakan banyak sekali deskripsi mengenai Sarah yang bahkan Bu dosen wali tidak mengetahuinya.

Dosen wali merangkulku. “Adam.... yang kamu alami itu manusiawi, semua manusia yang memiliki hati pasti punya rasa senang pada lawan jenisnya, tapi jangan sampai powermu di dalam kelas menurun Adam, akhir-akhir ini ibu melihat kamu tak sejaya dulu saat pertama kali bertemu, bahkan ibu berani berkata kamu sekarang lembek” Ya ampun... segitukah dampak dari rasa. “Kamu anak yang paling tua dikelas dan kamu harus memperlihatkanan kedewasaanmu pada yang lainnya. Bakatmu harus kamu kembangkan selebar mungkin Adam. Ingat kamu laki-laki, jangan karena rasa, apalagi kalau belum memiliki, kamu belum bisa menemukan jati dirimu”.

Dosen wali memelukku, layaknya seorang ibu. Hampir aku menangis. Setidaknya, aku menikmati pelukan seorang ibu sekaligus guru yang mnenangkanku dari ketimpangan persaaan yang tidak jelas ini.

Aku mencium tangannya untuk pamit sembari berterima kasih. “Terima kasih banyak Bu, sudah agak lega sekarang Bu..,”

“Sama-sama, yang penting kamu tetap semangat ya, terus berkarya..,”

“Baik, bu..... Adam pulang dulu Bu...,”

“Iya Adam, hati-hati Adam,” saling senyum mengakhiri pertemuanku dengan Bu dosen wali.

Baiklah, tak ada kata bimbang untuk sekarang dan seterusnya. Benar juga yang dikatakan Bu dosen wali, aku paling tua dikelas, harusnya aku menjadi contoh untuk yang lainnya.

Hujan semakin deras. Saking derasnya, gedung kampus yang menjulang tinggi itu tersamarkan oleh deraian hujan, ditambah angin lagi. Dan naasnya, aku tidak membawa payung, hanya memakai jaket yang belum cukup sebenarnya untuk melindungiku dari air hujan.

Banyak teman-teman lain yang masih menunggu diteras lobi gedung kampus. Kebetulan, aku ingin segera pulang. Ingin segera tiduran di atas kasurku sendirian. Tidak ada orang lain. Kalau memang boleh, aku ingin menangis. Akan tetapi, aku tak membawa payung, hanya bisa berlari sampai tujuan, atau menumpang orang lain yang berpayung.

Dari pada harus menunggu, lebih baik memilih lari saja. Aku sedikit mengagkat celanaku supaya tidak mengenai cipratan air saat berlalri. Waktunya untuk bersiap-siap, memasang kuda-kuda. Pasti seru, rasanya kembali ke dulu. Saat bermain kejar-kejaran waktu hujan.

“Adam...,” seperti ada yang memanggilku, dan aku kenal dengan suara ini, aku menoleh kanan kiri. Hey..., Sarah yang memanggilku. Aku menelan ludah.

“Kamu mau pulang Adam?,” Sarah bertanya padaku. Sebentar, ada apa ini. Aku berpapasan dengan Sarah?

“Iya Sarah...,” Menggaruk kepala padahal tak gatal. Kami saling tatap sebentar.“Memang rumah kamu dimana Adam?”.

“Bukan rumah Sarah, kos-kosanan. Dekat kok Sarah, depan warung mbak sri..”.

“Depan warung mbak Sri, kita sejalur berarti. Sebentar, kamu nggak bawa payung?” tanyanya sambil mendekat.

 “Nggak Sarah, aku juga belum punya payung”

“Ya sudah, kamu bareng aku saja sekalian, sejalur kok”

“Baik Sarah, sebelumnya terimakasih Sarah”. Sarah mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum. Aku menelan ludah lagi.

Aku berjalan berdampingan dengan Sarah. “Permisi Sarah, aku saja yang memegang payungnya”

“Oh iya Adam, ini...”. Sarah memberikan pegangan payung padaku. Namanya juga numpang.

Payung yang saat ini aku pegang, adalah payung yang setiap hari di bawa oleh Sarah. Entah itu cuaca dalam keadaan terang, mendung, panas. Dia selalu membawanya. Setiap masuk kelas, dia menaruh tepat di samping kursi yang ia tempati. Sepulang dari kampus, ia selalu memakainya. Warnanya merah, dengan corak buga mawar. Payung ini semacam jadi identitas tersendiri yang di sematkan pada Sarah. Sarah sering juga di juluki ‘Gadis Berpayung’. Sedangkan payungnya di beri julukan ‘Payung Merah Milik Sarah’. Pesonanya seakan meningkat drastis saat dia menggunakan payung khsanya itu. Aduh sarah.

Dari pada saling diam, aku memulai percakapan,  “Eh... tumben baru pulang kamu Sarah?,”

“Iya Adam, tadi aku pamit dengan semua dosen, mereka menyambutku, makanya sedikit lama,”

“Berarti semua dosen sudah tahu tentang kabarmu?,” Kami tetap melihat langkah disaat saling berbicara. “Iya Adam, semua civitas sudah tahu, bentar-bentar, kamu kok tahu kalau aku tumben baru pulang?”.

Waduh....., Kenapa dia balasnya seperti itu. “Hayooooo, Adam pasti merhatiin aku terus ya..,” dia menunjuk-nunjuk wajahku sambil tertawa kecil. Bagaimana ini. Aku menunduk.

“Wah, warung mbak Sri sudah dekat,” aku mencoba mengalihkan. Sarah tertawa dan melihatku. “Bisa aja kamu Adam...,” aku membalasnya dengan senyum.

Aku dan Sarah masuk ke warung mbak Sri. Payung Sarah ku taruh di bawah kursi.

“Kenapa kamu gak langsung pulang?”, tanyaku pada Sarah.

“Setiap hari aku menunggu disini, aku menunggu jemputanku” Kami duduk berhadapan.

“Memangnya rumahmu dimana?”

“Rumahku diluar kota, setiap hari aku diantar dan dijemput. Aku sudah memberikan usul pada orang tuaku supaya bisa berangkat dan pulang sendiri, tapi mereka tidak mengizinkannya,” ini adalah informasi baru bagiku. Sebelumnya saat perkenalan, dia tidak mengatakan hal personal seperti ini.

“Kos-kosanmu dimana Adam?”

“Itu, rumah yang catnya warna merah”. Aku menunjuk kosanku. “Kamu gak pulang?”

“Nanti saja, sekalian nemenin kamu buat nunggu jemputan”. Eh. Ngomong apa barusan

Seketika hening.

“Ee... waktu perkenalan pertama, kamu pernah bilang kalau kamu nganggur empat tahun, memangnya kamu nganggur atau apa?,” kali ini Sarah yang membuka pembicaraan.

Aku bercerita lebih detail didepan Sarah.

“Jadi pamanku memiliki perusahaan pangan pokok. Awal hingga akhir aku menjadi buruh pada perusahaan pamanku. Ia juga memberitahu beberapa hal penting tentang bisnis.....,” aku memberi tahu pada Sarah hal-hal penting yang dikatakan pamanku didalam bisnis. Sedikit banyak aku paham akan itu. Bagaimana mengalokasikan keuangan, baik dari perusahaan maupun dari luar, bagaimana memanage sumber daya yang tersedia, bagaimana mengatur sedemikian rupa operasional perusahaan sekaligus tips dari pemasarannya.

Aku bercerita tak menatap wajahnya, selayaknya laki-laki pada umumnya ketika bertatap muka pada seseorang wanita, aku salah tingkah. Sarah sangat fokus mendengarkanku bercerita.

“Pantas saja lancar sekali dikelas kamu Adam”. Sarah tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Enggak kok Sarah, aku juga masih belajar. Oiya, Sarah....,” aku akan menanyakan hal yang selama ini aku ingin tanyakan padanya.

Aku menarik nafas, “Kenapa kamu selalu bawa payung merah ini?”. Aku menunjuk pada payungnya. Mungkin pertanyaan ini adalah misteri terbesar bagi semua orang yang mengenal Sarah.

Dia sedikit mendekat. “Payung merah ini adalah warisan turun temurun dari orang-orang yang sangat aku cintai. Mulanya ini milik ayahku, kemudian setelah menikah, dia memebrikannya pada ibuku,” dia memperbaiki posisi duduknya yang agak miring, kemudia melanjutkan cerita panjangnya, “Saat aku ulang tahun yang keenam, aku di beri hadiah berupa payung ini. Mulai dari pendidikan anak sampai sekarang aku selalu membawa payung ini. Aku yakin, payung ini akan selalu di bawa oleh orang-orang yang kucintai.” Dia masih menatap payung merahnya sambil senyum-senyum sendiri. Mendengar ceritanya, aku beranggapan Sarah adalah wanita yang memegang teguh perasaannya.

Ia mengalihkan pandangannya ke wajahku, lalu tersenyum, “Karena payung ini, aku rela menjauh dari teman-teman kampus demi harapan kedua orang tuaku...” harapan? Apa hubungan payung ini dengan harapan orang tuanya?

“Memang apa harapan kedua orang tua mu?”

“Mereka berharap aku mengenyam perkuliahan di luar negeri. Aku tidak ingin terganggu oleh euforia teman-teman kampus, supaya aku bisa fokus dalam menimba ilmu di sini, soalnya di luar negeri banyak sekali saingannya. Terdengar jahat memamng. Tapi, pilihan ini tepat bagiku. Jadi Adam, aku di sini hanya sekedar mengisi waktu luang ku saja. Menunggu pengumuman penerimaan, dan akhirnya aku di terima..” ooooo, pantas saja Sarah terkesan penyendiri.

“Lalu apa hubungannya dengan payung merah milikmu?”, seakan masih belum puas dengan jawaban dari Sarah, aku bertanya lagi padanya.

“Payung ini selalu mengingatkanku pada kedua orang yang saat ini aku cintai,” waw. “Makanya, apapun yang berkaitan dengan mereka pasti aku teringat kembali oleh payung ini.

Iya mengusap wajahnya, lalu berkata padaku dengan tatapan sayu, “Maaf ya Adam...,” aku sedikit kaget, “Kenapa Sarah?”

“Baru saja kita bertemu, kita langsung saja berpisah,”.

 Karena sedikit salah tingkah, aku mencoba untuk tenang, “Eeee, namanya juga kebutuhan dan pilihanmu, ya lakukan saja, selagi itu terbaik bagimu. Hehehe,”. Mendengar tanggapanku yang sok dewasa, Sarah menganguk dan tersenyum lebar. Sangat manis.

Kami terus berbincang banyak hal yang tidak kami saling tahu. Dia sangat pintar bergurau, akupun tak mau kalah.

“Kenapa lama sekali ya...,” Sarah melonjorkan tubuhnya di meja warung.

“Memangnya biasanya jemputanmu datang kapan?”.

“Mungkin sudah kesini,  karena aku masih berpamitan dengan semua civitas, ia kembali lagi..”.

Sarah menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba Sarah bersin dan sedikit menggigil. Dengan sigap aku memakaikan jaketku padanya. “Ini Sarah, pakai jaketku dulu.”

“Tak perlu Adam, aku gak papa-papa kok...”. Aku tetap memakaikan jaketku pada Sarah.

“Kamu sudah menggigil Sarah, kalau dibiarkan bisa sakit kamu,” aku sedikit kaget ketika dia menggigil.

“Terima kasih Adam.”.

“Kamu mau teh hangat?”

“Nggak usah Adam”. Dia menolak sambil tersenyum. Semoga cepat datang jemputan Sarah.

Setelah cukup lama menunggu, suara mobil terdengar didepan warung. Aku berdiri dan melihat sumber suara, “Sarah.. itu jemputan mu?” .

Sarah yang menaruh kepalanya di meja langsung berdiri. “Iya Adam....”. Sarah terburu-buru mengambil barang-barangnya. “Adam, terimakasih jaketnya ya...”

“Kamu bawa dulu saja Sarah”. Aku menahan Sarah ketika dia akan melepas jaket milikku. Sarah mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia paham yang aku maksud. Kenang-kenangan.

“Baiklah, terima kasih banyak Adam,” Sarah tersenyum, aku membalasnya dengan senyum pula. Dia meraih tasnya dan bergegas. Dia disambut di dalam mobil oleh kedua orangtuanya. Terlihat ada obrolan kecil diantara mereka, mungkin tentang kondisi Sarah atau tentang jaket yang dia pakai. Entahlah.

Sarah menoleh padaku, dia tersenyum lebar dan melambaikan tangannya. Aku membalasnya. Beberapa detik setelah itu, seorang lelaki paruh baya dan seorang wanita yang kira-kira berkepala tiga sedikit berteriak padaku, “Terima kasih sudah menemani anak kami ya mas...” aku langsung menjawabnya, “Sama-sama, Bapak, Ibu”.

Mobil itu bersegera pergi. Tapi Sarah masih saja melambaikan tangannya padaku. Dan, tersenyum padaku. Aku menarik nafas panjang dan mengeluarkannya. Duduk-duduk sebentar. Masih mengingat rangkaian kejadian tadi. Benarkah mahasiswa terakhir yang bertemu dengan Sarah adalah Aku?

Waktunya pulang. Aku meraih tas ku dibawah kursi. Sebentar, kenapa ada payung warna merah.

Ya ampun. Ini payung milik Sarah. Payungnya tertinggal. Bisa-bisanya aku lupa mengingatkannya.

Tapi kenapa tak ada yang ingat ya. Kapan juga dia akan kembali. Kapan aku bisa mengembalikan padanya. Pikiranku campur aduk. Aduh. Bukannya lega untuk terakhir kali bertemu, malah terbebani karena ada barangnya tertinggal.

Lebih baik aku simpan terlebih dahulu, sampai aku bisa bertemu Sarah dan mengembalikannya.

Aku mengambil payung itu lalu keluar dari warung. Hujan masih saja deras. Tak ada ubahnya di saat aku terakhir kali bertemu dengan Sarah.

Beruntung sebenarnya payung Sarah tertinggal. Masalah nya jaket ku sudah dibawa olehnya. Hujan sangat lebat sekali. Gak terbayang kalau tidak jaketan, tak payungan. Badanku bakalan basah kuyup.

Aku teringat sesuatu. Sepertinya ada suatu hal yang menigigatkanku.

Aku berhenti. Jaketku.

Dalam sakunya ada buku diari curhatku tentang Sarah. Iya sih mirip perempuan, tapi... gila ini. Sedikit bingung dan linglung, tapi juga geli rasanya. Bagaimana reaksi Sarah ketika membaca isi dari diari itu. Isi dalam surataku sangat lebay tentang diri Sarah. Mengenai harapanku padanya, mengenai rasa yang mampu meruntuhkan jati diri ini. Aku hanya bergumam ‘kok bisa ketinggalan sih, hadehhhh’. Ya ampun. Aku tertawa sendiri.

Sudah lah. Yang jelas seperti dikatakan dosen wali, aku harus selalu meningkatkan bakatku untuk masa yang akan datang. Untuk apa memaksakan hati rapuh pada hal yang sudah pupus.

            Saatnya kembali.

Tepat ketika aku ingin menyeberang, ada tulisan di genggaman Payung Merah Milik Sarah. Entah dorongan dari mana, tulisan ini seakan memaksaku untuk membacanya. Tulisan itu memutar. Aku membacanya sedikit kesusahan, karena harus membaca bersamaan dengan memutar pegangan payung tersebut. Payung.... Ini.... Milik.... Sarah.... Dan... lanjutan dari tulisan ini tertutup oleh tanganku yang masih memegang pegangan payung ini. Setelah aku mengganti posisi pegangan lebih ke atas, terlihat jelas bertuliskan nama ....Adam......

Shofi Mustajibullah Saya Shofi Mustajibullah lulusan SDN Dipenogoro Gondanglegi, SMPN 01 MOJO, SMAN 01 MOJO, PONPOES Al-falah. Saat ini masih mengenyam pendidikan di Universitas Islam Malang dan Pondok Pesantren Kampus Ainul Yaqin

Related Posts

0 Response to "PAYUNG MERAH MILIK SARAH"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel