AFALAA AKUUNU A'BDAN SYAKURON
Beberapa akhir ini, alfaqir mengalami kogancangan spritiual yang cukup fundamental. Kegoncangan tersebut bermula pada status facebook yang bertuliskan, "Di suruh syukur oleh orang yang punya privilage" kalimat ini sederhana, namun benar benar nyata. Nyata seprti apa? Coba lihatlah kenyaataan!
Di saat yang bersamaan, alfaqir terus menerus mengidealkan kehidupan umat manusia, terkhusus umat muslim untuk senantiasa bersyukur atas apa-apa yang dialami di dunia ini. Akan tetapi idealisme agung itu goyah hanya dengan status facebook yang pemiliknya saja alfaqir tidak kenal. Alfaqir mengidealkan hidup syukur bukan karena perintah agama, melainkan karena kehidupan alfaqir sendiri. Alfaqir 'sempat' mengilustrasikan kehidupan yang dilandasi rasa syukur karena alfaqir tak perlu bingung memikirkan keuangan spp kuliah dan pesantren, saku bulanan, life style terkini, dan problem perekonomian. Lantas bagaimana dengan teman-teman alfaqir yang mungkin hidup di keluarga dengan latar belakang kekurangan dari banyak aspek, apakah akan memiliki idelaisme hidup yang sama? Alfaqir selalu merenung untuk menjauh dari popaliratas yang ditunjang penyematan putra seorang kyai, namun bagaimana denga mereka yang bahkan tidak memiliki teman seorang pun agar mereka dipuji, apakah akan memiliki idelaisme hidup yang sama?
Di titik itulah alfaqir sadar, rasa syukur yang selama ini alfaqir miliki adalah rasa syukur yang palsu. Alfaqir terlalu naif dalam merumuskan idealisme hidup yang berlandaskan rasa syukur, lebih tapatnya rasa syukur pasca pemenuhan materi.
Tapi pergolakan spritual alfaqir tidak berhenati sampai kenyataan tersebut, alfaqir terus mencoba sebisa mungkin. beberapa literatur kitab mengatakan bahwa rasa syukur itu memiliki beberapa rukun atau kerangka, salah satunya ucapan verbal, "alhamdulillah". Akan tetapi, problem sebelumnya timbul lagi. Syukur itu muncul pasca nuama (nikmat-nikmat) yang di terima seseorang. Semisal seseorang mengucapkan "alhamdulillah setelah makan, setelah judul skripsi di acc, setelah menyelesaikan jurnal, setelah menyelasikan yudisium. Hal tersebut memang terkesan lazim, namun kesemuanya itu muncul pasca pemenuhan mater. Syukur pasca pemenuhan materi. Lantas orang-orang yang tidak mendapatkan itu semua, mereka yang masih bingung mencari sesuap nasi, mereka yang judulnya belum di acc karena dospemnya killer, mereka yang hampir tidak mendapatkan keberuntungan sama sekali dalam hidupnya, apakah mereka bisa bersyukur? Oke, anda pasti menjawab, mereka yang tidak mendapatkan nuama' harus bersabar. Begitu kan yang anda pikirkan? Betapa tidak adilnya, bahwa peribadatan hanya dapat dilakukan hanya karena berlandaskan pemenuhan materi. Jika semacam ini yang di pahami, wajarlah seseorang akan goyah keimanannya. Naudzubillah.
Lantas kita ini harus bagaiman?
Perhatikan cerita ini, Dalam suatu malam, Sayyidatina Aisyah terbangun dan melihat telapak kaki Rasulullah bengkak sebab qiyamul lail. Kemudian beliau bertanya, "Ya Rasulallah, Cukuplah hal yang semacam ini, bahwa engkau oleh Allah telah di ampuni dosa-dosa yang lampau dan yang akan datang? Rasulullah menjawab, "Bukankah seyogyanya saya menjadi hamba yang selalu bersyukur".
Allahumma Shalli ala Sayyidina muhammad wa Ala Alih wa Sohbih
Siapa yang tidak tersentuh dengan jawaban beliau yang mana makhluk dengan predikat "Afdholi min Kholaiqi". Di satu sisi, alfaqir setuju apa yang di dawuhkan Kyai Zainul Fadhli, "bahwa syukur merupakan ibadah aktif, bukan pasif, maka kita perlu mereorientasikan definisi syukur yang sebenarnya". Rasulullah justru aktif beribadah dengan totalitas yang hampir tidak dimiliki oleh ummatnya.
Baik, seperti yang sudah alfaqir paparkan sebelumnya, bahwa problem syukur itu lazimnya muncul pasca pemenuhan materi. Anggap saja penyematan utusan tuhan dan kepastian pengampun segala dosa-dosa beliau merupakan pemberian materi seperti suatu jabatan, namun belaiu melampauinya. Beliau justru beribadah melebihi ummatnya yang tidak jelas kedepannya.
Rasulullah mengajarkan pada kita semua bahwa syukur sejati tidak seperti itu. Syukur sejati justru melampaui materi, sebab syukur sejati merupakan bentuk Pemenuhan Haq Peribadatan. Kalau saat ini perputaran rasa syukur masih stagnan pada materi, maka syukur yang sejati tak akan pernah ada.
Untuk menemukan rasa syukur sejati, anda harus memahami tingkatan dari niat atau orientasi dalam melaksanakan suatu amal. Pertama, seseorang yang beramal lantaran takut kepada Allah, maka ini tingkatan 'peribadatan seorang budak'. Kedua, seseorang yang beramal lantaran menginginkan feedback atau surga, maka ini tingkatan 'peribadatan barter (pedagang)'. Ketiga, seseorang yang beramal lantaran malu terhadap Allah dan memenuhi haq-haq peribadatan serta melaksanakannya sebagai bentuk syukur, dan menganggap diri sendiri sering lalai dalam melaksanakan suatu ibadah, dan memiliki hati yang belum tenang atas amal yang diperbuat apakah diterima atau tidak, maka ini tingkatan 'peribadatan orang-orang baik".
Di tingkatan ketiga lah yang seharusnya semua orang lakukan untuk menemukan nikmatnya rasa syukur sejati. Intinya semua karena Allah, sudah titik. Nggak peduli lingkungan yang bersangkutan seperti apa, latar belakang ekonomi yang seperti apa, gaya hidup sehari-hari yang seperti apa, kalau Lillahi Ta'ala hal-hal materi akan terlampaui seluruhnya. Memang, untuk mencapai tingkatan seperti itu tidak mudah dan butuh proses yang panjang. Imam Ghozali memberikan alternatif, bahwa tak apa jika dalam peribadatan masih terdapat unsur berharap (الرجأ ), dalam artian berharap mendapatkan feedback seperti surga. Karena berharap akan menumbuhkan rasa cinta (المحبة), dan rasa cinta pula yang menumbuhkan kenyamanan akan suatu ibadah. Berbeda dengan unsur takut (الخوف), sebab rasa takut akan menumbuhkan keputus asaan (القنوط). Pada intinya, aktivitas sehari-hari jadikanlah peribadatan yang melampai materi-materi. Insyaalah kita semua mampu untuk bersyukur atas dasar Pemenuhan Haq Peribadatan. Amin.
0 Response to "AFALAA AKUUNU A'BDAN SYAKURON"
Post a Comment