EKSISTENSI SEORANG SANTRI

Konon, pasca indonesia mengklaim kemerdakaannya pada tanggal 17 agustus 1945, diskriminasi belanda masih berlanjut. Setelah jepang yang saat itu menjajah indoensia kalah dari sekutu, belanda mulai mengagendakan agresi militer kedua. Mengetahui hal tersebut, tepat pada tanggal 22 Oktober 1945, KH. Hasyim Asy’ari menyerukan Fatwa Resolusi Jihad yang tentu tidak lepas dari permohonan Presiden Pertama, Ir. Soekarno. Para pemuda (santri) yang sebelumnya sudah di latih dalam waktu yang singkat oleh Jepang, siap hingga darah penghabisan melawan Agresi Militer Belanda II. Meskipun puncak peperangan usai setelah 10 November 1945 , resolusi jihad masih terus di gelorakan

Konsekuensi logisnya, perjuangan para kyai dan santri kala itu di jadikan momen istimewa, yakni hari peringatan santri se-indonesia. Guna menghormati atas tindakan tegas nan mulia KH. Hasyim Asya’ri, menghormati kegigihan, keberanian para santri dalam melawan belanda. Bahkan ceritanya, terdapat sebuah bendera belanda di pucuk gedung, kemudian ada seorang pemuda yang diduga santri merobek bagian warna biru bendera tersebut, dan jadilah bendera merah putih. Bendera yang terus berkibar dan menjadi kebanggaan hingga saat ini.

Di titik itulah citra pesantren-santri di akui, dan di anggap bukan semata-mata penuntut ilmu agama saja, melainkan sebagai pejuang kemerdekaan.

Namun, bukankah perlu di renungi kembali perihal hal-hal tadi, bahwa untuk apa semua citra atau esensi yang sudah di paparkan sebelumnya, kemudian di sematkan pada kesantrian kita setelah berjalannya dinamika sejarah santri. Apakah segala esensi mengenai santri itu akan menunjang kepribadian kita? Apakah mampu meningkatkan kecerdasan spritiual dan intelektual kita? Saya rasa tidak.

Mengapa? Karena semua hal tadi, baik itu kebanggaan, citra, esensi, adalah hal eksternal (luar) dari diri kita. Semua itu bukanlah kita. Kita adalah santri yang saat ini. kalau boleh jujur, orang lain akan memandang kesantrian di saat sepersekian detik saat melihat kita. Karena sejatinya, eksistensi seorang santri itu berdiri di atas kebanggaan dan citra yang sudah di gaungkan sebelumnya. Seluruh esensi akan melebur seketika berhadapan dengan eksistensi saat ini. Tidak peduli berlatar belakang dari keluarga seperti apa, dari Pesantren mana, dan taraf kecerdasan yang kayak gimana. Orang lain hanya peduli selayaknya apa kita sekarang ini.

Sejarah sudah berlalu. Ceritanya menjadi catatan yang sangat di perhitungkan. Kita tetap harus bangga pada itu semua, karena memang itulah identitas kita. Tapi perlu di ingat, keber’ada’an kita saat inilah yang akan di pandang orang lain, bukan esensi yang lalu-lalu. Bahkan keimanan para masyayikh dahulu dan para santri satri belum tentu termanifestasi kepada kita. Maka perbaikilah iman, akhlak, hati, ilmu, kedisplinan, dan semua perangkat-perangkat santri yang diperlukan saat ini hingga masa mendatang

 

Shofi Mustajibullah Saya Shofi Mustajibullah lulusan SDN Dipenogoro Gondanglegi, SMPN 01 MOJO, SMAN 01 MOJO, PONPOES Al-falah. Saat ini masih mengenyam pendidikan di Universitas Islam Malang dan Pondok Pesantren Kampus Ainul Yaqin

Related Posts

0 Response to "EKSISTENSI SEORANG SANTRI"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel