FENOMENA DIALEKTIKA DI DALAM KONFLIK NASAB HABAIB DI INDONESIA
Konflik tentang perseteruan طعن النسب (begal nasab;istilah yang akhir-akhir ini sering di pakai) habaib di indonesia muncul ketika tesis KH. Imaduddin Utsmani terbit. Terdapat dua karya yang beliau karang, dan kesemuanya tadi membahas tentang putusnya nasab habaib yang ada di Indonesia, khususnya bani Ba'alawi yang terafiliasi dengan Rabithah Alawiyah.
Inti dari dua tesis beliau berdasar pada nihilnya salah satu mata rantai keturunan yang berujung pada Rasulullah, yakni pada Sayyid Abdullah atau yang lebih familiar dengan nama Ubaidillah bin Ahmad bin Isa. Atas dasar inilah, KH. Imaduddin meng-ibthalkan jalur nasab bani Ba'alawi dan mendeklarasikan bahwa seluruh habaib yang ada di Indonesia bukanlah keturunan Nabi Muhammad. Maka, konsekuensi dari vonis tersebut, habaib yang ada di Yaman terseret di cap bukan dzurriyat Rasulullah. Konon, motivasi dari lahirnya kedua tesis tersebut adalah bentuk penyucian dari oknum-oknum yang mengaku-ngaku dzurriyat Rasulullah.
Ingkarnya KH. Imaduddin Utsmani terhadap kevalidan nasab Bani Ba'alawi tidak hanya berkutat pada masalah di situ saja, justru timbul perselisahan atau konflik baru mengenai verifikasi nasab walisanga serta dzurriyatnya yang ada Indonesia, apakah termasuk keturunan Rasulullah atau bukan. Naasnya, terjadilah dikotomi golongan antara bani Ba'alawi dengan bani Walisangan. Akan tetapi, penulis hanya berfokus pada wilayah perseteruan nasa Ba'alawi memakai perspektif Dialektika ala George Wilhelm Friedrich Hegel atau lebih di kenal Hegel. Hal ini dikarenakan terbatasnya pengetahuan serta wawasan mengenai kronologis problem nasab Walisanga. Wallahu a'lam
Baik, apa itu dialektika? Simplenya, yaitu sistem berpikir filosofis yang berproses dengan tiga tahap, yakni Tesis (sebuah gagasan) kemudian Antitesis (sebuah gagasan baru yang bertentangan dengan gagasan awal) hingga jadilah Sintesis (proses penyatuan dari dua gagasan, Tesis dengan Sintesis. Dalam alur berpikirnya, Hegel menggunakan sistem berpikir seperti ini. Lalu apak kaitannya dengan Fenomena putusnya nasab habaib yang ada di Indonesia? Ini yang menarik.
Bagi masyarakat pada umumnya, fenomena putusnya nasab bani Ba'alawi memiliki alur pikir seperti ini, bahwa konstruksi mata rantai dzurriyat nabi dari bani Ba'alawi menempati posisi Tesis, kemudian dua karya Kyai Imaduddin menempati Antitesis. Statement kyai Imaduddian hadir sebagai penantang dari gagasan nasab yang sudah ada yang di naungi oleh Rabithah Alawiyah. Dimana-mana penantang hadir bak pahlawan, menjadi pihak yang dielu-elukan. Banyak orang yang latah dalam hal ini. Alhasil, gagasan kyai Imaduddin spontan mendapatkan banyak dukungan. Akan tetapi terdapat faktor lain yang menjadi penunjang krusial, seperti oknum-oknum habib yang dianggap berlaku tidak lazim, Fanatisme, Identitas Politik, cerita-cerita masa lalu yang kelam dan banyak lainnya. Sekiranya inilah hal-hal yang menguatkan argumen kyai Imaduddin.
Padahal, proses alur pikir yang sebenarnya tidak seperti itu. Bahwa posisi yang di tempati gagasan nasab bani Ba'alawi menempati posisi Sintesis. Dengan artian apa yang di konstruksikan Rabithah Alawiyah merupakan hasil dari rangkaian tesis dan antitesis. Perlu di ketahui, urutan konsep dialektika dapat terus menerus dengan konsep yang sama, jadi setelah penggabungan dua gagasan yang berlawanan, maka dapat menempati pada tahap awal yakni tesis, jika ada gagasan yang berlawanan, begitu seterusnyaa.
Nah, alur pikir dialektika yanh haq dalam kasus ini ialah, gagasan yang di sampaikan oleh kyai Imaduddin bermuara pada nihilnya Sayyidina Ubaidillah dalam literatur-literatur kitab nasab (Tesis). Kemudian terbantahkan bahwa banyak sekali literatur-literatur kitab yang menyebutkan bahwa Sayyidina Ahmad bin Isa memiliki putra bernama Ubaidillah (Antitesis). Maka bisa dipastikan bahwa bani Ba'alawi terverivikasi didalam kitab-kita nasab yang jumlahnya puluhan (Sintesis). Belum sampai disitu, rupanya gagasan bahwa bani Ba'alawi terverivikasi didalam kitab-kita nasab (Tesis) dibantah bahwa harus ada kitab yang sezaman (Antitesis) hingga muncul kesimpulan bahwa tidak ada literatur satupun yang sezaman dengan nihilnya salah satu mata rantai bani Ba'alawi, yaitu Ubaidillah (Sintesis).
Tidak adanya kitab sezaman dengan Sayyid Ubaidillah (Tesis) masih dibantah lagi, bahwa tak ada satu syaratpun yang menyatakan bahwa harus ada kitab yang sezaman dengan siapa yang dimasa urutaan setiap silsilah tersebut harus ada kitab nasab (Antitesis). Maka literatur-literatur yang menunjukkan adanya Sayyid Ubaidillah, meskipun muncul setelah masa hidupnya tidak terbantahkan (Sintesis). Entah bagaimana, Sintesis terakhir ini tidak dapat dibantah atau tidak dapat ditemukan antitesisnya. Sebab berkenaan dengan ruang lingkup nasab, memang tidak pernah ada syarat harus ada kitab sezaman dengan setiap mata rantai silsilah. Belum lagi diperkuat dengan penjelasan bahwa penafian harus terdapat sebuah dalil, dalam hal ini penafian terhadap eksistensi Sayyid Ubaidillah, nyatanya tidak ada. Maka penafiannya gugur (Sintesis). Belum dengan kejanggalan-kejanggalan lainnya, seperti tidak ilmiah kedua kitab karya kyai Imaduddin, janggalnya kitab 'Syajarah Mubarakah' sebagai rujukan induk kitab beliau dan lain-lainnya. Finalnya, bahwa silsilah bani Ba'alawi sudah di itsbats secara syara'. Dan ini menjadi titik terang bahwasannya konstruksi mata rantai dzurriyat nabi dari bani Ba'alawi bertempat pada Sintesis yang sudah tidak bisa didebatkan lagi.
Kiranya begitulah yang seharusnya banyak orang ketahui. Tidak fomo atau ikut campur tanpa memahami permasalahan yang ada. Yang menjadi problem sejati adalah dampak dari fenomena ini. Entah benar tidaknya orientasi kyai Imaduddin yang ingin menyucikan habaib yang ada di Indonesia, faktanya beliau belum mampu mengelola konflik yang terjadi setalah argumen beliau tersebar luas. Dampak paling nyata adalah munculnya cacian sana sini, ujaran kebencian baik di media sosial maupun dunia nyata, tersebarnya hoax, provokatif, pecah belah, rasisme yang tidak dapat dibendung. Harusnya, kita sebagai masyarakat memandang fenomena ini sebagai fenomena ilmiah, bukan fenomena pecah belah. Seyogyanya kita kembalikan kepada ahlinya sebagai penyelasian atas konflik ini. Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad sudah mengingatkan umat muslim melalui kitabnya yang bertajuk, "Nashohiu ad-Diniyah", jika suatu masyarakat tidak mengembalikan problematika pada ahlinya, maka kelak akan muncul 'kesenjangan sosial'. Beliau dawuh:
وصار المشكور عند الناس من وافقهم علي هواء انفسهم، وان كان غيرمستقيم بالله والمظموم عندهم من خلفهم وان كان عبدا صالحا
“Dan jadilah kalangan yang di terima di tengah-tengah masyarakat ialah seseorang yang selara atas hawa nafsu mereka, sekalipun dia adalah orang yang melenceng dari jalan Allah, tidak benar. Dan kalangan yang di jauhi ialah seseorang yang berbeda, sekalipun dia adalah hamba yang shalih, orang yang benar”.
0 Response to "FENOMENA DIALEKTIKA DI DALAM KONFLIK NASAB HABAIB DI INDONESIA"
Post a Comment