SAY NOT TO RACIST

Say not to racist, I like it. This is the most beautiful thing to me. Rasis memiliki arti sebuah system kepercayaan atau doktrin yang menyatakan bahwa perbedaan biologis yang melekat pada ras manusia menentukan penampilan budaya atau individual bahwa suatu ras tertentu lebih superior dan memiliki hak untuk mengatur ras yang lainnya. Pada dasarnya yang merendahkan pihak atau kutub lain, disebabkan karena dirinya mengaggap diatas semuanya.

Rasisme adalah hasil produktif dari egoisme, keserakahan, kebencian, perpecahan, kemiskinan hingga kepada terorisme. Suatu penyakit komunal massif dan kronis yang sudah mencapai stadium akhir.

Rasisme merupakan fenomenal pendekriminasian yang rata-rata diluapkan oleh individu dan etnis mayoritas pada etnis minoritas. Suatu serangan tajam yang secara akumulatif berdampak besar bagi kesehatan mental golongan yang diserang. Mereka akan terus menerus terdeskriminasi oleh mindset-mindset rasisme, bahkan lebih parahnya lagi bias menyebabkan trauma.

Menurut penuturan dari sastrawan sekaligus novelis, Pramoedya Ananta Toer, bahwasannya rasisme ialah pemahaman yang menolak suatu golongan yang berdasarkan perbedaan ras. Dengan kata lain, mempunyai kelianan dari pada umumnya.

Tindakan rasisme juga terjadi diInndonesia, Negara yang menjunjung tinggi persatuan. Memang banyak factor kenapa Indonesia di hantui rasisme. Tercatat jumlah penduduk Indonesia mencapai 264 juta jiwa, ada lebih 300 kelompok etnik atau bangsa di Indonesia, dan 1.340 suku bangsa. Indonesia juga memiliki distribusi 742 bahasa diseluruh Indonesia. Apakah yang terjadi jika suatu penduduk sebanyak 264 juta memiliki pemikiran rasisme sebab hal-hal yang berbeda didalam Indonesia yang sejatinya itu indah?. Kita ingat, strategi deride et impera ala belada yang dapat memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil agar mudah dipecah belahkan. Yang hakikatnya belanda mengkampanyekan bahwasannnya ras golongan tersebut lebih baik dari ras lainnya. Apakah kita ingin merasakan rasanya dijajah selama 3,5 abad lagi?

Rakyat Indonesia dengan jerih payah berusaha meraih kemerdekaan dari penjajah. Banyak pahlawan berguguran merenggut keadilan, mendedikasikan nyawanya untuk kemerdakaan. Di Jawa, kita punya Nyi Ageng Serang, wanita cerdas ahli siasat perang gerilya kepercayaan Pangeran Diponegoro, yang gigih melawan penyerobotan tanah yang dilakukan penjajah Belanda. Di Kalimantan, kita punya Pangeran Antasari bertempur melawan Belanda di sepanjang sungai Barito. Di Sulawesi, kita punya Pong Tiku, seorang gerilyawan piawai yang tak henti-hentinya membuat penjajah kesulitan menancapkan kaki di Tana Toraja. Di Aceh kita punya Cut Nyak Dhien dan Cut Nyak Meutia, dua wanita gagah berani yang mengorbankan nyawa demi mengusir penjajah.

Dari abad ke-17 sampai dengan abad ke-19, pengorbanan para pahlawan kita tak berhasil mengusir penjajah Belanda. Mengapa? Tak lain karena perjuangan kita terpecah-pecah, dijalankan sendiri-sendiri pada tiap-tiap wilayah. Setiap pahlawan berjuang untuk masyarakat di daerahnya. Mereka belum mengikatkan diri dalam satu kesatuan bangsa Indonesia. Mereka belum berjuang sebagai bangsa Indonesia yang satu. Penjajah Belanda menuai keuntungan dari kondisi masyarakat Nusantara yang terpecah belah. Bahkan tak jarang pula mereka memanfaatkan perbedaan itu demi menyulut perpecahan di antara masyarakat Nusantara sendiri. Agar masyarakat Nusantara tidak bersatu melawan Belanda, maka penjajah menanamkan ketidaksukaan antar daerah, prasangka antar etnis, kecurigaan antar pemeluk agama di Nusantara.

Politik pecah-belah atau adu-domba (deride et impera) inilah yang perlahan-lahan disadari oleh rakyat Indonesia. Di awal abad ke-20, dengan tumbuhnya surat kabar yang diusahakan dan dikelola oleh bangsa Indonesia sendiri muncullah kesadaran persatuan sebagai bangsa. Muncullah kesadaran bahwa seluruh ras, suku, semua etnis dari berbagai daerah di Nusantara itu sama-sama dijajah. Walaupun mereka berbeda- beda, tapi mereka tetap satu sebagai bangsa yang dijajah oleh Belanda. Oleh karena itu, perlawanan terhadap kolonialisme pun hanya akan berhasil apabila dilangsungkan sebagai suatu kesatuan tenaga, sebagai satu bangsa yang meronta dan berontak ingin merdeka.

Para penerus perjuangan pahlawan terdahulu mulai memperlihatkan eksistensi. Mereka mau untuk berfikir bagaimana bangsa ini bisa merdeka. Ir Soekarno, M.Hatta, Soepomo, Mohammad Yamin, K.H. Abdul Wachid Hasyim. Mereka membantu menyumbang ide yang membuat lahirnya ideologi negara kita yaitu pancasila. Sebelumnya, pada masa persidangan pertama BPUPKI (28 Mei – 1 Juni 1945) belum tercapai kata sepakat tentang dasar negara, maka dibentuklah Panitia Sembilan yang bertugas merampungkan naskah mengenai dasar negara yang akan menjadi Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Ketua dari Panitia Sembilan ini tak lain adalah Soekarno. Melalui rapat-rapat khusus yang mereka selenggarakan, Panitia Sembilan ini menyunting rumusan Pancasila Soekarno dan mengubah urut- urutan penyebutannya. Pada tanggal 22 Juni 1945, tercapailah kesepakatan di antara sembilan orang itu mengenai rumusan dasar negara. Singkat cerita, pada sidang pertama Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), tepat sehari setelah proklamasi 17 Agustsus 1945, dicapailah kata mufakat untuk rumusan Pancasila sebagai dasar negara. Dan diraihlah pula kemerdekaan saat itu juga. Demikianlah semangat kesatuan dan persatuan rakyat Indonesia dalam mencapai kemerdakaan.

Pancasila sendiri merupakan landasan dari Negara Indonesia. Kelima sila yang terkandung dalam Pancasila disusun tak hanya dengan tetesan keringat, namun juga tetesan air mata dan tetesan darah para pahlawan-pahlawan bangsa Indonesia. Pancasila senantiasa diperjuangkan dengan tujuan untuk mempersatukan bangsa Indonesia yang terdiri dari beragam budaya, adat, serta keanekaragaman. Bukti nyata bahwa Pancasila memang bertujuan untuk memersatukan bangsa Indonesia tercermin jelas pada sila ketiga yang berbunyi, “Persatuan Indonesia”.

Maka dari itu, sangat penting sekali peranan keluarga dalam mendidik anaknya. Anak terlahir fitrah, mereka suci, mereka tidak tahu apa-apa. Keluarga yang baik ialah keluarga yang menanamkan ideologis pancasila sejak dini. Tak pernah mengajarkan ajaran rasisme ataupun radikalisme. Tak lepas dari itu, kebijakan pememrintah juga menjadi senjata utama untuk menghalau rasisme dikalangan masyarakat. Pemerintah harus berkomitmen dalam penyelesaian masalah rasisme. Pihak yang berbuat rasisme secepatnya diproses secara hukum tanpa pandang bulu, apalagi rasisme yang bersifat radikalisme atau ekstrim.

Alhasil, Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia.

Shofi Mustajibullah Saya Shofi Mustajibullah lulusan SDN Dipenogoro Gondanglegi, SMPN 01 MOJO, SMAN 01 MOJO, PONPOES Al-falah. Saat ini masih mengenyam pendidikan di Universitas Islam Malang dan Pondok Pesantren Kampus Ainul Yaqin

Related Posts

0 Response to "SAY NOT TO RACIST"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel